Sabtu, 29 Mei 2010

Gangguan Eliminasi

ENCOPRESIS
Encopresis umumnya disebabkan oleh sembelit, dengan menahan refleksif dari bangku, oleh gangguan fisiologis, psikologis, atau berbagai neurologis, atau dari pembedahan (kejadian agak jarang).
Usus besar yang biasanya menghilangkan kelebihan air dari kotoran. Jika kotoran atau tinja tetap berada di usus terlalu lama karena pemotongan AC atau sembelit ringan, air begitu banyak yang dihapus bahwa tinja menjadi keras, dan menjadi menyakitkan bagi anak untuk mengusir dalam buang air besar biasa. Sebuah lingkaran setan dapat mengembangkan, di mana anak dapat menghindari bergerak / nya nya perut untuk menghindari "diharapkan" episode toilet menyakitkan. Siklus ini dapat mengakibatkan begitu dalam ruangan respon memegang bahwa rektal Anal Hambat Respon (RAIR) atau hasil anismus. RAIR telah terbukti terjadi bahkan di bawah anestesi dan kontrol sukarela hilang. Bangku mengeras terus membangun dan peregangan usus besar atau rektum ke titik di mana sensasi normal yang terkait dengan gerakan usus yang akan datang tidak terjadi. Akhirnya, kebocoran bangku lembut di sekitar penyumbatan dan tidak dapat ditahan oleh anus, sehingga kekotoran. Anak biasanya tidak memiliki kontrol atas ini kecelakaan kebocoran, dan tidak mungkin dapat merasa bahwa mereka telah terjadi atau akan terjadi karena hilangnya sensasi di dubur dan RAIR tersebut. reaksi emosional yang kuat biasanya hasil dari gagal dan mencoba mengulangi untuk mengendalikan tubuh produk ini sangat menyenangkan. Reaksi ini kemudian pada gilirannya dapat mempersulit perawatan konvensional menggunakan pelunak tinja, tuntutan duduk, dan strategi perilaku.
Permulaan encopresis paling sering jinak. Permulaan biasa dikaitkan dengan pelatihan toilet, menuntut agar anak duduk untuk jangka waktu yang lama, dan intens reaksi negatif orangtua untuk tinja. Awal sekolah atau prasekolah merupakan pemicu lingkungan utama dengan kamar mandi bersama. Bermusuhan orangtua, saudara, bergerak, dan perceraian juga dapat menghambat perilaku toilet dan mempromosikan sembelit. Sebuah "awal" mungkin menyebabkan menjadi kurang relevan sebagai "mempertahankan" menyebabkan mengambil alih. pelecehan seksual dapat menjadi penyebabnya, tapi klaim tersebut harus independen diperkuat oleh faktor lain daripada encopresis sendiri.

Diagnosis
(DSM-IV) psikiatris kriteria diagnostik untuk encopresis adalah:
1.Pengulangan bagian dari kotoran ke tempat yang tidak patut (misalnya, pakaian atau lantai) apakah sukarela atau tidak disengaja
2.Setidaknya satu peristiwa selama 3 bulan
3. Kronologis usia minimal 4 tahun (atau setara dengan tingkat perkembangan)
4. Perilaku tersebut tidak semata-mata karena efek fisiologis dari suatu zat (misalnya, obat pencahar) atau kondisi medis umum, kecuali melalui mekanisme yang melibatkan sembelit.
DSM-IV mengenali dua subtipe dengan sembelit dan inkontinensia overflow, dan tanpa sembelit dan inkontinensia overflow. Dalam subtipe dengan sembelit, kotoran biasanya buruk terbentuk dan kebocoran kontinue, dan terjadi baik pada saat tidur dan jam bangun. Dalam tipe tanpa sembelit, kotoran biasanya well-formed, kekotoran adalah intermiten, dan kotoran biasanya disimpan di lokasi yang menonjol. Formulir ini dapat berhubungan dengan gangguan pemberontak oposisi atau melakukan gangguan, atau mungkin merupakan akibat dari insersi dubur besar, atau lebih mungkin karena encopresis kronis yang secara radikal peka usus besar dan anus.

Penanganan tradisional
Banyak dokter anak akan merekomendasikan pendekatan tiga cabang berikut untuk pengobatan sembelit encopresis terkait dengan: 1. membersihkan 2. menggunakan agen pelunakan bangku 3. dijadwalkan kali duduk, biasanya setelah makan.

Bersih awal-out dicapai dengan enema, obat pencahar, atau keduanya. Pendekatan dominan hari ini adalah "top down" penggunaan pelunak tinja lisan seperti Miralax, lactulose, minyak mineral, dll Setelah itu, enema dan obat pencahar digunakan setiap hari untuk menjaga bangku lembut dan memungkinkan usus menggeliat untuk kembali ke ukuran normal .

Anak harus diajarkan untuk menggunakan toilet secara teratur untuk melatih / nya tubuhnya. Hal ini biasanya dianjurkan bahwa seorang anak diminta untuk duduk di toilet pada waktu yang teratur setiap hari dan 'mencoba' untuk pergi selama 10-15 menit, biasanya segera (atau segera) setelah makan. Anak-anak lebih mungkin untuk dapat mengusir hak buang air besar setelah makan. Hal ini berpikir bahwa membuat jadwal waktu mandi teratur akan memungkinkan anak untuk mencapai pola eliminasi yang tepat. Mengulangi keberhasilan void di toilet sendiri membantu untuk menjadi stimulus releasor untuk AB sukses.
Atau, jika metode ini gagal selama enam bulan atau lebih, pendekatan yang lebih agresif dapat dilakukan dengan menggunakan dasar "atas" pendekatan supositoria dan enema secara hati-hati diprogram untuk mengatasi memegang respon refleksif dan memungkinkan refleks void yang tepat untuk mengambil atas. Kegagalan untuk membentuk suatu kebiasaan buang air besar normal dapat menyebabkan peregangan permanen dari usus besar. Tentu saja, sehingga masalah ini terus selama bertahun-tahun dengan jaminan konstan bahwa anak "akan tumbuh dari itu" harus dihindari.

Perubahan diet adalah elemen manajemen penting. Fitur perubahan diet dalam kasus sembelit yang disebabkan encopresis meliputi: 1. pengurangan asupan sembelit makanan seperti susu, kacang tanah, wortel dimasak, dan pisang; 2. peningkatan makanan tinggi serat seperti dedak, produk gandum, buah-buahan, dan sayuran, 3. tinggi asupan air dan cairan, seperti jus, meskipun peningkatan risiko diabetes dan / atau kerusakan gigi telah dikaitkan dengan kelebihan asupan jus manis; 4. membatasi minuman dengan kafein, seperti minuman cola dan teh; 5. menyediakan makanan seimbang dan makanan ringan, dan membatasi makanan cepat junk food / yang tinggi lemak dan gula; 6. seluruh batas sampai 16 ons susu sehari untuk anak lebih dari 2 tahun, namun tidak sepenuhnya menghilangkan susu karena anak-anak membutuhkan kalsium untuk pertumbuhan tulang dan kekuatan.

Konsekuensi emosional berurusan dengan produk limbah permusuhan seringkali sangat intens dan mengakibatkan banyak kemarahan dan saling tuduh di dalam unit keluarga. Bahkan ada surat kabar berkala rekening orang tua marah menyiksa dan bahkan membunuh anak-anak. komplikasi emosional yang paling sering merupakan produk dari kekacauan itu sendiri bukan kausal di alam. Profesional membantu harus diusahakan jika efek-efek emosional menghalangi pengobatan yang efektif.



Enuresis
Nocturnal enuresis, biasa disebut mengompol, adalah istilah medis untuk buang air kecil tanpa sadar saat tidur setelah usia yang mengendalikan kandung kemih biasanya terjadi. Nocturnal enuresis dianggap primer (PNE) ketika anak belum memiliki berkepanjangan menjadi kering. enuresis nokturnal sekunder (ESN) adalah ketika seorang anak atau orang dewasa mulai membasahi lagi setelah tinggal kering.
Mengompol merupakan keluhan anak urologic paling umum dan salah satu masalah anak-kesehatan yang paling umum mengompol namun, sebagian besar hanyalah sebuah gangguan perkembangan - bukan masalah emosional atau penyakit fisik. Hanya sebagian kecil (5% sampai 10%) dari kasus mengompol disebabkan oleh situasi medis tertentu. Mengompol sering dikaitkan dengan sejarah keluarga kondisi. Kebanyakan perempuan bisa tetap kering dengan usia enam tahun dan anak laki-laki yang paling tetap kering pada usia tujuh. Dengan sepuluh tahun, 95% anak-anak telah kering di malam hari. Studi dewasa di tempat mengompol tingkat antara 0,5% menjadi 2,3%.
Perawatan berkisar dari pilihan perilaku berbasis seperti mengompol alarm, untuk pengobatan seperti penggantian hormon, dan bahkan operasi seperti pembesaran uretra. Sejak mengompol paling hanyalah sebuah gangguan perkembangan, rencana perawatan yang paling bertujuan untuk melindungi atau meningkatkan harga diri. Mengompol anak-anak dan orang dewasa dapat mengalami stres emosional atau cedera psikologis jika mereka merasa malu dengan kondisi tersebut. Pedoman Perawatan merekomendasikan bahwa dokter nasihat orang tua, peringatan tentang kerusakan yang disebabkan oleh tekanan psikologis, mempermalukan, atau hukuman atas kondisi anak-anak tidak dapat mengendalikan.

fobia sekolah

a.Apakah fobia sekolah itu ?
Kata “fobia” dapat di artikan sebagai gangguan ketakutan yang tidak rasional atau irrational fear dari obyek-obyek atau situasi-situasi yang tidak berbahaya. Dan fobia di definisikan juga sebagai ketakutan yang tidak masuk akal.
Fobia sekolah adalah di mana adanya rasa kecemasan yang tinggi yang di rasakan seorang anak ketika saat ia akan ke sekolah. Rasa kecemasan itu dapat ia tunjukan dengan berbagai macam alasan yang dapat menghindarkan ia dari situasi keberangkatan ia ke sekolah hingga aktivitas nya di sekolah. Hal tersebut dapat terjadi karena ia mendapatkan suasana sekolah yang baru atau pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan terhadap guru,teman,dan lingkungan sekolahnya.
b.Tingkatan dan Jenis Penolakan Terhadap Sekolah
Para ahli menunjuk adanaya beberapa school refusal, mulai dari yang ringan hingga yang berat(fobia), antara lain :
1.Initial school refusal behavior
Adalah sikap menolak sekolah yang berlangsung dalam waktu yang sangat singkat (seketika/tiba-tiba) yang dapat berakhir dengan sendirinya tanpa harus ada penanganan.
2.Substantial school refusal behavior
Adalah sikap penolakan yang berlangsung selama minimal 2 minggu.

3.Acute school refusal behavior
Adalah sikap penolakan yang bisa berlangsung 2 minggu hingga 1 tahun, dan selama itu anak mengalami masalah setiap kali hendak berangkat sekolah
4. Chronic school refusal behavior
Adalah sikap penolakan yang berlangsung lebih dari setahun, bahkan selama anak tersebut bersekolah di tempat itu.

c.Tanda-tanda fobia sekolah
•Menolak untuk berangkat sekolah dengan berbagai macam alasan yang tidak masuk akal.
•Ia mau berangkat sekolah tetapi dalam waktu yang tidak lama ia meminta untuk pulang.
•Saat sampai di sekolah ia tidak mau di tinggal oleh yang mengantarnya (orang tua,pengasuh,supir) atau ia menunjukan perilaku tidak baik terhadapgueru dan teman-temannya.
•Memasang muka melas agar di kasihani guru nya kemudia di ijinkan untuk pulang. Hal ini berlangsung dalam waktu tertentu.
•Melontarkan keluhan fisik agar di ijinkan untuk tinggal di rumah.
•Senang berdiam diri di kamar atau kurang mau bergaul.

d.Faktor penyebab fobia sekolah
•Separation anxiety
Separation anxiety pada umumnya dialami anak-anak kecil usia balita (18 – 24 bulan). Kecemasan itu sebenarnya adalah fenomena yang normal. Anak yang lebih besar pun (preschooler, TK hingga awal SD) tidak luput dari separation anxiety. Bagi mereka, sekolah berarti pergi dari rumah untuk jangka waktu yang cukup lama. Mereka tidak hanya akan merasa rindu terhadap orangtua, rumah, atau pun mainannya – tapi mereka pun cemas menghadapi tantangan, pengalaman baru dan tekanan-tekanan yang dijumpai di luar rumah.

•Pengalaman negative di sekolah atau lingkungan
Mungkin saja anak menolak ke sekolah karena dirinya kesal, takut dan malu setelah mendapat cemoohan, ejekan atau pun di”ganggu” teman-temannya di sekolah. Atau anak merasa malu karena tidak cantik, tidak kaya, gendut, kurus, hitam, atau takut gagal dan mendapat nilai buruk di sekolah.
Di samping itu, persepsi terhadap keberadaan guru yang galak, pilih kasih, atau “seram” membuat anak jadi takut dan cemas menghadapi guru dan mata pelajarannya. Atau, ada hal lain yang membuatnya cemas, seperti mobil jemputan yang tidak nyaman karena ngebut, perjalanan yang panjang dan melelahkan, takut pergi sendiri ke sekolah, takut sekolah setelah mendengar cerita seram di sekolah, takut menyeberang jalan, takut bertemu seseorang yang “menyeramkan” di perjalanan, takut diperas oleh kawanan anak nakal, atau takut melewati jalan yang sepi. Para ahli mengatakan, bahwa masalah-masalah tersebut sudah dapat menimbulkan stress dan kecemasan yang membuat anak menjadi moody, tegang, resah, dan mulai merengek tidak mau sekolah, ketika mulai mendekati waktu keberangkatan.
•Problem dalam keluarga
Penolakan terhadap sekolah bisa disebabkan oleh problem yang sedang dialami oleh orangtua atau pun keluarga secara keseluruhan. Misalnya, anak sering mendengar atau bahkan melihat pertengkaran yang terjadi antara papa-mamanya, tentu menimbulkan tekanan emosional yang mengganggu konsentrasi belajar. Anak merasa ikut bertanggung jawab atas kesedihan yang dialami orangtuanya, dan ingin melindungi, entah mamanya – atau papanya. Sakitnya salah seorang anggota keluarga, entah orangtua atau kakak/adik, juga dapat membuat anak enggan pergi ke sekolah. Anak takut jika terjadi sesuatu dengan keluarganya yang sakit ketika ia tidak ada di rumah.
•Pola hubungan anak dan orangtua yang tidak sehat
pola hubungan yang tidak sehat ini maksud nya adalah sikap orang tua yang tidak melihat anak seutuhnya. Anak tidak di perbolehkan menjadi dirinya sendiri, semua serba di atur dan bahkan ada sikap pilih kasih terhadap anak tersebut. Atau bahkan terjadi sebaliknya orangtua tidak peduli terhadap anaknya.
e.Penanganan terhadap fobia sekolah
•Tetap menekankan pentingnya sekolah
•Bersikap tegas dan konsisten terhadap anak
•Konsultasikan perkembangan anak pada ahlinya
•Berkerja sama dengan orang-orang yang ikut dalam perkembangan anak
•Luangkan waktu untuk beraktivitas dengan anak
•Lepaskan anak secara bertahap

Minggu, 16 Mei 2010

AUTISME

AUTISME
Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif.(Baron-Cohen, 1993). Menurut Power (1989) karakteristik anak dengan autisme adalah adanya 6 gangguan dalam bidang:
• interaksi sosial,
• komunikasi (bahasa dan bicara),
• perilaku emosi
• pola bermain
• gangguan sensorik dan motorik
• perkembangan terlambat atau tidak normal.
Gejala ini mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil; biasanya sebelum anak berusia 3 tahun.
Autisme dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder R-IV merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung PDD(Perpasive Development Disorder) di luar ADHD(Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan ADD(Attention Deficit Disorder). Gangguan perkembangan perpasiv (PDD) adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan beberapa kelompok gangguan perkembangan di bawah (umbrella term) PDD, yaitu:
1. Autistic Disorder (Autism) Muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan adanya hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan bermain secara imaginatif serta adanya perilaku stereotip pada minat dan aktivitas.
2. Asperger’s Syndrome Hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya minat dan aktivitas yang terbatas, secara umum tidak menunjukkan keterlambatan bahasa dan bicara, serta memiliki tingkat intelegensia rata-rata hingga di atas rata-rata.
3. Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-NOS) Merujuk pada istilah atypical autism, diagnosa PDD-NOS berlaku bila seorang anak tidak menunjukkan keseluruhan kriteria pada diagnosa tertentu (Autisme, Asperger atau Rett Syndrome).
4. Rett’s Syndrome Lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang terjadi pada anak laki-laki. Sempat mengalami perkembangan yang normal kemudian terjadi kemunduran/kehilangan kemampuan yang dimilikinya; kehilangan kemampuan fungsional tangan yang digantikan dengan gerakkan-gerakkan tangan yang berulang-ulang pada rentang usia 1 – 4 tahun.
5. Childhood Disintegrative Disorder (CDD) Menunjukkan perkembangan yang normal selama 2 tahun pertama usia perkembangan kemudian tiba-tiba kehilangan kemampuan-kemampuan yang telah dicapai sebelumnya.
Diagnosa Perpasive Develompmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD – NOS) umumnya digunakan atau dipakai di Amerika Serikat untuk menjelaskan adanya beberapa karakteristik autisme pada seseorang (Howlin, 1998: 79). National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) di Amerika Serikat menyatakan bahwa Autisme dan PDD – NOS adalah gangguan perkembangan yang cenderung memiliki karakteristik serupa dan gejalanya muncul sebelum usia 3 tahun. Keduanya merupakan gangguan yang bersifat neurologis yang mempengaruhi kemampuan berkomunikasi, pemahaman bahasa, bermain dan kemampuan berhubungan dengan orang lain. Ketidakmampuan beradaptasi pada perubahan dan adanya respon-respon yang tidak wajar terhadap pengalaman sensoris seringkali juga dihubungkan pada gejala autisme.

Diagnosa Autisme Sesuai DSM IV
A. Interaksi Sosial (minimal 2):
1. Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak mata, ekspresi muka, posisi tubuh, gerak-gerik kurang tertuju
2. Kesulitan bermain dengan teman sebaya
3. Tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat
4. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2 arah
B. Komunikasi Sosial (minimal 1):
1. Tidak/terlambat bicara, tidak berusaha berkomunikasi non verbal
2. Bisa bicara tapi tidak untuk komunikasi/inisiasi, egosentris
3. Bahasa aneh & diulang-ulang/stereotip
4. Cara bermain kurang variatif/imajinatif, kurang imitasi social
C. Imaginasi, berpikir fleksibel dan bermain imaginatif (minimal 1):
1. Mempertahankan 1 minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan, baik intensitas dan fokusnya
2. Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak berguna
3. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian tertentu dari suatu benda
Gejala autisme dapat sangat ringan (mild), sedang (moderate) hingga parah (severe), sehingga masyarakat mungkin tidak menyadari seluruh keberadaannya. Parah atau ringannya gangguan autisme sering kemudian di-paralel-kan dengan keberfungsian. Dikatakan oleh para ahli bahwa anak-anak dengan autisme dengan tingkat intelegensi dan kognitif yang rendah, tidak berbicara (nonverbal), memiliki perilaku menyakiti diri sendiri, serta menunjukkan sangat terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan maka mereka diklasifikasikan sebagai low functioning autism. Sementara mereka yang menunjukkan fungsi kognitif dan intelegensi yang tinggi, mampu menggunakan bahasa dan bicaranya secara efektif serta menunjukkan kemampuan mengikuti rutinitas yang umum diklasifikasikan sebagai high functioning autism. Dua dikotomi dari karakteristik gangguan sesungguhnya akan sangat berpengaruh pada implikasi pendidikan maupun model-model treatment yang diberikan pada para penyandang autisme. Kiranya melalui media ini penulis menghimbau kepada para ahli dan paktisi di bidang autisme untuk semakin mengembangkan strategi-strategi dan teknik-teknik pengajaran yang tepat bagi mereka. Apalagi mengingat fakta dari hasil-hasil penelitian terdahulu menyebutkan bahwa 80% anak dengan autisme memiliki intelegensi yang rendah dan tidak berbicara atau nonverbal. Namun sekali lagi, apapun diagnosa maupun label yang diberikan prioritasnya adalah segera diberikannya intervensi yang tepat dan sungguh-sungguh sesuai dengan kebutuhan mereka.
Referensi baku yang digunakan secara universal dalam mengenali jenis-jenis gangguan perkembangan pada anak adalah ICD (International Classification of Diseases) Revisi ke-10 tahun 1993 dan DSM (Diagnostic And Statistical Manual) Revisi IV tahun 1994 yang keduanya sama isinya. Secara khusus dalam kategori Gangguan Perkembangan Perpasiv (Perpasive Developmental Disorder/PDD): Autisme ditunjukkan bila ditemukan 6 atau lebih dari 12 gejala yang mengacu pada 3 bidang utama gangguan, yaitu: Interaksi Sosial – Komunikasi – Perilaku.
Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi bukti dari berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes secara behavioral maupun komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya autisme, maka beberapa instrumen screening yang saat ini telah berkembang dapat digunakan untuk mendiagnosa autisme:
• Childhood Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme masa kanak-kanak yang dibuat oleh Eric Schopler di awal tahun 1970 yang didasarkan pada pengamatan perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15; anak dievaluasi berdasarkan hubungannya dengan orang, penggunaan gerakan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan komunikasi verbal
• The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar pemeriksaan autisme pada masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18 bulan, dikembangkan oleh Simon Baron Cohen di awal tahun 1990-an.
• The Autism Screening Questionare: adalah daftar pertanyaan yang terdiri dari 40 skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk mengevaluasi kemampuan komunikasi dan sosial mereka
• The Screening Test for Autism in Two-Years Old: tes screening autisme bagi anak usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt didasarkan pada 3 bidang kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motor dan konsentrasi.
Diagnosa yang akurat dari Autisme maupun gangguan perkembangan lain yang berhubungan membutuhkan observasi yang menyeluruh terhadap: perilaku anak, kemampuan komunikasi dan kemampuan perkembangan lainnya. Akan sangat sulit mendiagnosa karena adanya berbagai macam gangguan yang terlihat. Observasi dan wawancara dengan orang tua juga sangat penting dalam mendiagnosa. Evaluasi tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu memungkinkan adanya standardisasi dalam mendiagnosa. Tim dapat terdiri dari neurolog, psikolog, pediatrik, paedagog, patologis ucapan/kebahasaan, okupasi terapi, pekerja sosial dan lain sebaginya.




Gejala
Anak dengan autisme dapat tampak normal di tahun pertama maupun tahun kedua dalam kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap rangsangan-rangasangan dari kelima panca inderanya (pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan). Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-kepakan tangan atau jari, menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan. Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain) atau malah sangat pasif. Besar kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap normal mungkin menjadi gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang berulang-ulang, minat yang terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain yang juga selalu melekat pada para penyandang autisme adalah respon-respon yang tidak wajar terhadap informasi sensoris yang mereka terima, misalnya; suara-suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari suatu bahan tertentu dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan mereka.
Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga terberat sekalipun.
1. Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
2. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
3. Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
4. Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
5. Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu
Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa diantaranya ada yang tidak 'berbicara' sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia). Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep yang abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat individualitas yang unik dari individu-individu penyandangnya.
Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para orang tua dan para praktisi untuk lebih waspasa dan peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat. The National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :
1. Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan
2. Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada, menggenggam) hingga usia 12 bulan
3. Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
4. Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan
5. Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu
Adanya kelima ‘lampu merah’ di atas tidak berarti bahwa anak tersebut menyandang autisme tetapi karena karakteristik gangguan autisme yang sangat beragam maka seorang anak harus mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang dapat meliputi; Neurolog, Psikolog, Pediatric, Terapi Wicara, Paedagog dan profesi lainnya yang memahami persoalan autisme.


Penanganan Autisme di Indonesia
Intensitas dari treatment perilaku pada anak dengan autisme merupakan hal penting, namun persoalan-persoalan mendasar yang ditemui di Indonesia menjadi sangat krusial untuk diatasi lebih dahulu. Tanpa mengabaikan faktor-faktor lain, beberapa fakta yang dianggap relevan dengan persoalan penanganan masalah autisme di Indonesia diantaranya adalah:
1. Kurangnya tenaga terapis yang terlatih di Indonesia. Orang tua selalu menjadi pelopor dalam proses intervensi sehingga pada awalnya pusat-pusat intervensi bagi anak dengan autisme dibangun berdasarkan kepentingan keluarga untuk menjamin kelangsungan pendidikan anak mereka sendiri.
2. Belum adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia. Tidak cukup dengan hanya mengimplementasikan petunjuk teatment dari luar yang penerapannya tidak selalu sesuai dengan kultur kehidupan anak-anak Indonesia.
3. Masih banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara dini sehingga ketika anak menjadi semakin besar maka semakin kompleks pula persoalan intervensi yang dihadapi orang tua. Para ahli yang mampu mendiagnosa autisme, informasi mengenai gangguan dan karakteristik autisme serta lembaga-lembaga formal yang memberikan layanan pendidikan bagi anak dengan autisme belum tersebar secara merata di seluruh wilayah di Indonesia.
4. Belum terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan autisme di sekolah. Dalam Pasal 4 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah diamanatkan pendidikan yang demokratis dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dukungan ini membuka peluang yang besar bagi para penyandang autisme untuk masuk dalam sekolah-sekolah umum (inklusi) karena hampir 500 sekolah negeri telah diarahkan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan inklusi.
5. Permasalahan akhir yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya pengetahuan baik secara klinis maupun praktis yang didukung dengan validitas data secara empirik (Empirically Validated Treatments/EVT) dari penanganan-penanganan masalah autisme di Indonesia. Studi dan penelitian autisme selain membutuhkan dana yang besar juga harus didukung oleh validitas data empirik, namun secara etis tentunya tidak ada orang tua yang menginginkan anak mereka menjadi percobaan dari suatu metodologi tertentu. Kepastian dan jaminan bagi proses pendidikan anak merupakan pertimbangan utama bagi orang tua dalam memilih salah satu jenis treatment bagi anak mereka sehingga bila keraguan ini dapat dijawab melalui otoritas-otoritas ilmiah maka semakin terbuka informasi bagi masyarakat luas mengenai pengetahuan-pengetahuan baik yang bersifat klinis maupun praktis dalam proses penanganan masalah autisme di Indonesia.
Terapi Bagi Individu dengan Autisme
Bila ada pertanyaan mengenai terapi apa yang efektif? Maka jawaban atas pertanyaan ini sangat kompleks, bahkan para orang tua dari anak-anak dengan autisme pun merasa bingung ketika dihadapkan dengan banyaknya treatment dan proses pendidikan yang ditawarkan bagi anak mereka. Beberapa jenis terapi bersifat tradisional dan telah teruji dari waktu ke waktu sementara terapi lainnya mungkin baru saja muncul. Tidak seperti gangguan perkembangan lainnya, tidak banyak petunjuk treatment yang telah dipublikasikan apalagi prosedur yang standar dalam menangani autisme. Bagaimanapun juga para ahli sependapat bahwa terapi harus dimulai sejak awal dan harus diarahkan pada hambatan maupun keterlambatan yang secara umum dimiliki oleh setiap anak autis, misalnya; komunikasi dan persoalan-persolan perilaku. Treatment yang komprehensif umumnya meliputi; Terapi Wicara (Speech Therapy), Okupasi Terapi (Occupational Therapy) dan Applied Behavior Analisis (ABA) untuk mengubah serta memodifikasi perilaku.
Berikut ini adalah suatu uraian sederhana dari berbagai literatur yang ada dan ringkasan penjelasan yang tidak menyeluruh dari beberapa treatment yang diakui saat ini. Menjadi keharusan bagi orang tua untuk mencari tahu dan mengenali treatment yang dipilihnya langsung kepada orang-orang yang profesional dibidangnya. Sebagian dari teknik ini adalah program menyeluruh, sedang yang lain dirancang menuju target tertentu yang menjadi hambatan atau kesulitan para penyandangnya.
• Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: Applied Behavior Analysis (ABA) yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering disamakan dengan Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif.
• Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai Floortime.
• TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication – Handicapped Children).
• Biological Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas, hiperaktif, melukai diri sendiri, dsb.).
• Speech – Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha penanganan gangguan asosiasi dan gangguan proses auditory/pendengaran.
• Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (Picture Exchange Communication System), bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar dalam berkomunikasi dan pendukung-pendukung komunikasi lainnya.
• Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan intervensi baik di rumah, sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.
• Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational Therapy (OT), Sensory Integration Therapy (SI) dan Auditory Integration Training (AIT).
Dengan adanya berbagai jenis terapi yang dapat dipilih oleh orang tua, maka sangat penting bagi mereka untuk memilih salah satu jenis terapi yang dapat meningkatkan fungsionalitas anak dan mengurangi gangguan serta hambatan autisme. Sangat disayangkan masih minim data ilmiah yang mampu mendukung berbagai jenis terapi yang dapat dipilih orang tua di Indonesia saat ini. Fakta menyebutkan bahwa sangat sulit membuat suatu penelitian mengenai autisme. Sangat banyak variabel-variabel yang dimiliki anak, dari tingkat keparahan gangguannya hingga lingkungan sekitarnya dan belum lagi etika yang ada didalamnya untuk membuat suatu penelitian itu sungguh-sungguh terkontrol. Sangat tidak mungkin mengkontrol semua variabel yang ada sehingga data yang dihasilkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mungkin secara statistik tidak akurat.
Tidak ada satupun jenis terapi yang berhasil bagi semua anak. Terapi harus disesuaikan dengan kebutuhan anak, berdasarkan pada potensinya, kekurangannya dan tentu saja sesuai dengan minat anak sendiri. Terapi harus dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu mengarahkan pilihan-pilihan anda terhadap berbagai jenis terapi yang ada saat ini. Tidak ada jaminan apakah terapi yang dipilih oleh orang tua maupun keluarga sungguh-sungguh akan berjalan efektif. Namun demikian, tentukan salah satu jenis terapi dan laksanakan secara konsisten, bila tidak terlihat perubahan atau kemajuan yang nyata selama 3 bulan dapat melakukan perubahan terapi. Bimbingan dan arahan yang diberikan harus dilaksanakan oleh orang tua secara konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan selama 3 bulan maka bentuk intervensi lainnya dapat ditambahkan. Tetap bersikap obyektif dan tanyakan kepada para ahli bila terjadi perubahan-perubahan perilaku lainnya